Sabtu, 31 Oktober 2015

Prototype Jet Tempur KFX Segera Dibuat


Radar KFX-C103-iA Korea menggunakan active electronically scanned array (AESA)/ active phased array radar dan sistem sensor optik  "Electro-Optical Distributed Aperture System"  EODAS. Sistem EODAS dari KFX tempur-C103-iA diatur di depan kokpit kaca depan. Desain ini mirip dengan tata letak pada Su-30/35 atau tempur SU T-50 Rusia
Radar KFX-C103-iA Korea menggunakan active electronically scanned array (AESA)/ active phased array radar dan sistem sensor optik “Electro-Optical Distributed Aperture System” EODAS. Sistem EODAS dari KFX tempur-C103-iA diatur di depan kokpit kaca depan. Desain ini mirip dengan tata letak pada Su-30/35 atau tempur SU T-50 Rusia
Seoul – Majelis Komite Pertahanan Korea Selatan mengadakan rapat umum pada hari Jumat 30/10/2015 dan menyetujui permintaan anggaran yang diusulkan pemerintah sebesar 67 miliar won, untuk proyek pengembangan jet tempur dalam negeri.
Anggaran proyek Korea Fighter Experimental (KF-X), atau yang dijuluki KF-X, terdiri dari 49 miliar won untuk pembuatan jet tempur percobaan, 12,7 miliar won untuk ujicoba (trial) dan penilaian pesawat. Sementara dana 9 miliar Won, untuk dukungan teknis.
Lembaga Program Akusisi Pertahanan (DAPA) sebelumnya meminta dana 161 miliar Won kepada Departemen Keuangan untuk proyek tersebut, tetapi anggaran akhirnya dikurangi menjadi 67 miliar Won, saat dilakukan pembicaraan dengan pemerintah.
Setelah disetujui oleh Komite Pertahanan, permintaan anggaran selanjutnya akan dibahas oleh Majelis Anggaran dan Keuangan, Korea Selatan.
Program KF-X baru-baru ini mengalami kemunduran setelah Amerika Serikat menolak transfer teknologi inti untuk proyek tersebut. Namun Korea Selatan tetap melanjutkannya.
Kbs.co.kr

Pesawat KFX Mengusung Teknologi Siluman


kfx-1
Seoul – Badan Pembangunan Pertahanan Korea Selatan telah resmi mengatakan bahwa teknologi siluman disertakan dalam proyek jet tempur dalam negeri Korea Selatan, yang dijuluki KF-X.
Presiden Lembaga tersebut, Chung Hong-yong membuat pernyataan itu pada pertemuan pleno Komite Majelis Pertahanan Nasional pada hari Jumat, 30/10/2015.
Ditanya tentang bagaimana wujud dari teknologi canggih siluman Korea Selatan, Chung mengatakan dia tidak bisa terbuka mengungkapkan rinciannya, tapi teknologi siluman itu akan masuk ke jet tempur.
Dia juga mengatakan Amerika Serikat menolak permintaan Seoul untuk transfer teknologi siluman untuk proyek pesawat KF-X, tetapi Korea Selatan telah mengembangkan teknologi sendiri sejak tahun 1997.
Chung mengatakan teknologi siluman Korea Selatan jauh maju dalam segi desain dan bahan, menambahkan bahwa diskusi sedang berlangsung tentang teknologi yang dikembangkan tersebut.


Parlemen Indonesia Setujui Budget Pesawat KF-X


KF-X IF-X Fighter
KF-X IF-X Fighter
Parlemen Indonesia telah menyetujui batch pertama dana sebesar 89 miliar Won untuk diinvestasikan dalam pengembangan bersama (jointly developing) jet tempur baru Korea Selatan.
Seorang pejabat kedutaan Korea Selatan di Jakarta mengatakan Sabtu, bahwa parlemen Indonesia menyetujui dana untuk proyek, yang dijuluki KF-X.
Menyusul disetujuinya anggaran ini, maka pemerintah Korea Selatan dan Indonesia, serta perusahaan kedirgantaraan yang berpartisipasi, Korea Aerospace Industries (KAI) dan PT Dirgantara Indonesia, akan memulai negosiasi untuk menandatangani kesepakatan proyek pada awal November di Jakarta.
Indonesia berencana untuk menanggung biaya sebesar 1,7 triliun Won atau 20 persen dari biaya pengembangan pesawat KF-X.
Dengan munculnya lampu hijau di batch pertama ini, Lembaga Program Akuisisi Pertahanan, Defense Acquisition Program Administration (DAPA), Seoul, meyakini Indonesia akan menyetujui anggaran yang tersisa di fase yang ditentukan.
Berdasarkan perjanjian dasar dari pengembangan bersama pesawat KF-X yang ditandatangani tahun lalu, Indonesia akan menerima satu jet tempur percobaan dan informasi yang berhubungan dengan desain pesawat. Insinyur Indonesia juga akan mengambil bagian dalam proyek ini.
Indonesia will receive one trial fighter jet and design-related information. Its engineers will also take part in the project
Kbs.co.kr

Legenda Pesawat F-16 Mencoba Peruntungan Terakhir


Viper-Goes-Out-for-the-Hunt
31
30
29
28
27
25
24
23
22
21
20
19
17
16
15
14 13
12
11
10
9
8
7
5
F-16CJ TNI AU (TS-1641), 21 Des 2014 di Lanud Soewondo Medan (Foto: Andang Tri Prabowo / http://jetphotos.net)
4
3
2
1
Pesawat F-16 bisa dikatakan salah satu masterpiece industri militer Amerika Serikat. Tak heran pesawat yang diterbangkan perdana tahun 1974, hingga kini masih mengudara dan 4500 pesawat lebih telah diproduksi oleh General Dynamics (lalu di akuisisi oleh Lockheed Martin).
Pesawat ini awalnya dirancang sebagai pesawat tempur superioritas udara, namun akhirnya berevolusi menjadi pesawat tempur multi-peran yang sangat populer. Kemampuan F-16 untuk bisa dipakai di segala misi membuatnya sangat sukses di pasar ekspor, dan dipakai oleh 24 negara selain Amerika Serikat.
Kini Lockheed Martin mencoba peruntungan F-16 terakhir dengan mengeluarkan F-16 versi Viper, yang diharapkan bisa terus berproduksi hingga tahun 2020. Jika tidak ada pesanan untuk F-16 Viper, produksi pesawat F-16 akan berakhir hingga tahun 2017.

Senin, 26 Oktober 2015

Tak Mau Kalah, Swedia Ajukan Tawaran Paket Alutsista ke Indonesia

Ditengah semakin meruncingnya persaingan untuk memperebutkan pasar pengadaan alutsista Indonesia khususnya pesawat tempur pengganti F-5, Swedia dan SAAB kembali membuat gebrakan baru. Meski tawarannya tidak berbeda dengan tawaran sebelumnya, gebrakan baru Swedia dan SAAB ini cukup menarik perhatian ditengah hingar bingar tawaran pesawat tempur F-16 Viper dari Amerika dan Su-35BM dari Rusia.

Tawaran ini semakin menarik karena didengungkan kembali oleh Swedia dan SAAB tidak lama setelah Amerika dan Lockheed Martin memberikan tawaran terbarunya kepada Indonesia. Apalagi kita ketahui bersama saat ini Presiden RI Joko Widodo sedang melakukan lawatan ke Amerika dan kabarnya tawaran F-16V Viper ini akan menjadi salah satu agenda.
Maka bisa dipahami bahwa gebrakan baru Swedia dan SAAB ini adalah untuk mengimbangi tawaran F-16V Viper dari Amerika dan Lockheed Martin, serta melawan ‘terpilihnya’ pesawat tempur Su-35BM dari Rusia sebagai pengganti F-5 TNI AU. Namun terlepas dari apa motivasi dibalik gebrakan baru dengan tawaran tidak berbeda dari sebelumnya ini, kita akan membahas apa saja tawaran dari SAAB dan Swedia.


Paket Komplit Tawaran Alutsista dari Swedia dan SAAB

Paket komplit tawaran alutsista dari SAAB dan Swedia untuk Indonesia ini disebut dengan istilah “The Swedish Air Power Package”, yang tidak berbeda jauh dengan tawaran sebelumnya namun dengan detail yang lebih jelas. Tawaran “The Swedish Air Power Package” ini didengungkan kembali oleh Swedia dan SAAB di acara konferensi pers yang dilakukan di Kedutaan Besar Swedia di Indonesia, beberapa hari lalu. Dalam acara konfrensi pers yang dahului dengan acara sarapan bersama ini, Swedia dan SAAB secara khusus mengundang beberapa media Indonesia dan komunitas pecinta dunia militer Indonesia.

Adapun paket komplit dari tawaran “The Swedish Air Power Package” ini terdiri dari :
a. Pesawat tempur SAAB Gripen terbaru
b. Pesawat peringatan dini SAAB Erieye AEW&C (Airbone Early Warning and Control)
c. Ground Based Command and Control
d. Tactical Data Link
e. Kerjasama Industri termasuk transfer of technology (ToT) dan produksi lokal.
f. Penciptaan lapangan pekerjaan.

Ke-enam point tawaran diatas adalah paket komplit dari tawaran terbaru dari Swedia dan SAAB untuk menambah kekuatan militer Indonesia dimasa datang. Tawaran ini sangat menggiurkan dan akan sangat sulit untuk diabaikan begitu saja oleh pemerintah Indonesia. Namun sayang sekali tidak disebutkan secara khusus berapa jumlah pesawat tempur Gripen terbaru dan pesawat SAAB Erieye AEW&C yang harus dibeli Indonesia beserta peralatan pendukungnya untuk memuluskan seluruh tawaran ini masuk ke Indonesia.

Pesawat tempur SAAB Gripen C Republik Ceko. Pesawat tempur SAAB Gripen C Republik Ceko. Source : Wikipedia.org

Pesawat tempur SAAB Gripen terbaru yang dimaksudkan dalam tawaran ini akan tergantung kepada permintaan dari pihak Indonesia. Sehingga belum bisa dipastikan apakah Gripen C/D ataukah Gripen E/F. Namun sepertinya pihak Indonesia lebih tertarik dengan pesawat tempur Gripen E/F dibandingkan dengan pesawat tempur Gripen C/D untuk memperkuat alutsista TNI. Namun segala hal bisa saja terjadi jika TNI AU sebagai user dan pemerintah mempertimbangkan kembali tawaran ini.

Pesawat peringatan dini SAAB Erieye AEW&C sendiri adalah pesawat peringatan dini dan komando buatan SAAB Swedia yang sudah memperkuat alutsista beberapa negara seperti Swedia, Thailand, Mexico, Yunani, Uni Emirate Arab, Brazil dan Pakistan. SAAB sendiri punya dua pilihan flatform Erieye ini yaitu berbasis SAAB-340 Erieye dan SAAB-2000 Erieye yang bisa disesuaikan dengan pilihan konsumen.

Ground Based Command and control ini sendiri adalah perangkat vital yang akan menjadi pusat komando di darat dari operasional pesawat tempur Gripen dan Erieye AEW&C nantinya. Perangkat ini akan menjadi pengendali dari keseluruhan operasional untuk mengoptimalkan semua taktik dan system dalam menjalankan misi.

Sedangkan tactical data link sendiri sudah lama didengungkan akan menjadi tawaran dari SAAB kepada Indonesia. Tactical data link ini akan memungkinkan (jika dibeli) pesawat tempur Gripen Indonesia bisa saling berbagi data satu dengan lainnya dalam menghadapi ancaman dari musuh. Tawaran seperti ini sudah pernah diberikan SAAB kepada Thailand ketika Thailand membeli 12 unit Gripen C/D dan 2 unit SAAB Erieye AEW&C.


Pesawat peringatan dini SAAB-340 Erieye milik ThailandPesawat peringatan dini SAAB-340 Erieye milik Thailand. Image Source: defenseindustrydaily.com

Hal lain yang turut dalam tawaran SAAB ini adalah paket transfer of technology (ToT) dan kemungkinan adanya produksi lokal pesawat tempur ini. Namun kemungkinan produksi lokal ini tampaknya baru akan terwujud jika Indonesia membeli lebih dari 1 skuadron pesawat tempur Gripen. Demikian juga dengan tawaran lapangan pekerjaan diatas juga akan terkait dengan seberapa banyak yang dibeli Indonesia.

Untuk masalah pembiayaan, Swedia tidak mau kalah dari Amerika, Rusia dan konsorsium EuroFighter dimana mereka juga menawarkan pembiayaan dengan skema kredit eksport yang cukup menjanjikan.

Detail tawaran diatas adalah satu paket komplit yang diajukan Swedia kepada Indonesia. Yang artinya tawaran tersebut akan mulus masuk ke Indonesia jika Indonesia membeli paket tersebut secara komplit bukan setengah-setengah. Dilain sisi, Indonesia sudah cukup sering membeli alutsista dengan paket yang tidak komplet bahkan jumlah pembeliannya terkadang dicicil seperti kasus pesawat tempur Su-30MK2 dan SU-27 SKM beberapa tahun yang lalu.

Pertanyaannya adalah apakah Indonesia akan membeli paket komplit tawaran Swedia ini? Ataukah Indonesia hanya membeli pesawat tempur Gripen saja tanpa melibatkan pesawat Erieye AEW&C? Jika Indonesia tidak membeli paket komplit seperti yang ditawarkan, apakah tawaran-tawaran menarik seperti ToT, produksi lokal dan lainnya itu masih diberikan secara utuh? Tentu saja hal-hal seperti ini masih akan menjadi pertanyaan yang susah dijawab sampai adanya tandatangan kontrak yang menjelaskan apa detail kesepakatannya.

Berapa Biaya untuk Membeli Paket tawaran Alutsista ini?


Hal menarik untuk dibahas adalah berapa biaya yang harus dikeluarkan Indonesia untuk membeli paket komplit tawaran ini. Memang cukup sulit untuk mendapatkan angka pasti karena belum ada angka resmi yang dipublikasikan. Namun kita bisa memperkirakan secara kasar berapa biaya yang harus dikeluarkan Indonesia untuk membeli paket komplit ini.

Untuk pesawat tempur Gripen E/F terbaru tampaknya harga komplitnya yang sudah termasuk pelatihan, system pendukung dan tawaran transfer teknologi didalamnya tampaknya akan relative mahal. Sebut saja contoh Brazil yang membeli 36 unit Gripen E/F dengan segudang ToT didalamnya yang menelan biaya sekitar $6 Miliar. Memang didalamnya terdapat nilai $1.5 Miliar khusus untuk training, perawatan dan support selama 10 tahun. Itu artinya dana untuk membeli 36 unit Gripen E/F dan pendukungnya adalah sekitar $4.5 Miliar. Jika dibagi secara total 36 unit, maka per unitnya akan menelan biaya sekitar $125 Juta/unit.

Harga tersebut memang terlihat mahal namun sebanding dengan tawaran yang diberikan. Untuk kasus Indonesia, jika membeli paket komplitnya mungkin akan lebih murah dari Brazil namun tergantung kepada paket apa yang dibeli Indonesia. Namun tampaknya angka US$100 Juta/unit merupakan harga yang cukup pas untuk mendapatkan paket komplit ini. Jika Indonesia membeli sekitar 16 unit pesawat tempur Gripen E/F maka nilainya akan mencapai US$1.6 Miliar.

Namun harga itu masih harga 1 skuadron pesawat tempur Gripen E/F. Sedangkan untuk membeli sekitar 3-4 unit SAAB Erieye diperkirakan menghabiskan dana sekitar US$300 Juta. Hal ini didasari pembelian SAAB Erieye oleh Pakistan dan Uni Emirat Arab, setiap unit SAAB Erieye dibeli sekitar US$ 80 Juta sampai US$ 100 Juta.

Dengan system pendukung lainnya seperti ground based command and control, maka sepertinya dana untuk membeli paket komplit yang terdiri dari 1 skuadron pesawat tempur Gripen dan 3-4 unit SAAB Erieye akan menelan dana tak kurang dari US$ 2 Miliar. Dan akan lebih jika Indonesia membeli dalam jumlah yang lebih banyak. Harga yang cukup mahal namun masih pantas untuk sekian banyak tawaran menarik dibaliknya.

Pertanyaannya apakah pemerintah Indonesia saat ini memiliki dana sebesar itu saat ini? Terkait dana sebenarnya bisa diatur oleh pemerintah Indonesia asal memiliki kemauan dan sikap yang kuat terkait ini. Pemerintah Indonesia sendiri sudah beberapa kali menyampaikan pernyataan bahwa pesawat peringatan dini AEW&C juga merupakan salah satu alutsista yang di incar oleh militer Indonesia di periode kedua MEF (2015-2019) ini. Kita tunggu saja sikap resmi perintah Indonesia terkait tawaran ini.

Dan seperti apapun tawaran menarik dari Swedia ini, akan sangat menarik untuk menunggu apa hasil pertemuan Presiden RI Joko Widodo dengan pemerintah Amerika, dimana hari ini (Minggu, 25 Oktober 2015) beliau sudah tiba di Amerika. Yang jelas sekarang terlihat didepan mata adalah perlombaan dari beberapa produsen alutsista untuk memperebutkan pasar pembelian alutsista Indonesia tahun 2015-2019 ini.

Apakah tawaran Swedia ini akan masuk dalam daftar belanja alutsista tni 2015 ini tidak bisa kita pastikan sampai adanya keputusan final dari pemerintah. Apapaun hasilnya dan apapun yang diputuskan oleh pemerintah Indonesia nantinya, kita serahkan kembali kepada pemerintah. Pemerintah Indonesia pasti memiliki pertimbangan logis dibalik apapun yang akan diputuskannya, terlepas dari kandidat mana yang akhirnya di beli.

Seoul Debates Best Strategy to Acquire AESA Radar




KFX radar (image : ilbo)

SEOUL, South Korea — South Korean defense officials are in a quandary over how to acquire an active electronically scanned array (AESA) radar, a key component for the country’s fighter development program code-named KF-X, following the US refusal to transfer the advanced radar technology.

South Korea had expected  to learn the AESA technology for the KF-X jet through offset deals connected to its F-X III contract to buy 40 Lockheed Martin-built F-35As.

South Korea seeks to develop a twin-engine KF-X fighter jet on par with the F-16 and produce 120 units starting in 2025 to replace its F-4 and F-5 fleets. The project is estimated to cost some US $16 billion.

But the US government refused to transfer four of the 25 fighter technologies South Korea wanted, citing the International Traffic in Arms Regulations. Those technologies concerned AESA, an electro-optical targeting pod, infrared search-and-rescue systems, and a radio frequency jammer.

During the Seoul International Aerospace and Defense Exhibition (ADEX), which ran from Oct. 20 to 25, European radar makers sought to woo South Koreans apparently disappointed by the US.


Saab new AESA radar (photo : SAAB)

Sweden’s Saab offered to develop an AESA with South Korea.

“We’ve done the flight test with the backend system and antenna elements,” said Tom Bratt, marketing executive of Saab Electronic Defence Systems. “We’re ready to go to the next phase once we have a platform available. Then we can start to make all the proper integrations.”

Bratt said Saab could complete the development of the AESA system with South Korea, as the Swedish company had been engaged in a joint study on the radar with the Agency for Defense Development (ADD), which is affiliated with South Korea’s arms agency.

“Once we have a contract, it will take about two years to deliver the first system,” he added.

Finmeccanica’s Selex is pitching its Captor-E radar fitted for the Eurofighter Typhoon. The British and Italian aerospace group recommends Seoul adopt the Selex radar and subsequently localize it in phases.

“The bottom line is we’ll try to meet the Korean demands as much as we can,” a Selex official said on condition of anonymity.

“The best option right now is for Korea to produce the Captor-E radar under license first, and with Selex’s tech transfer, Korea would be able to localize the AESA technology,” he said.


Selex Captor-E AESA radar (photo : Finmeccanica)

Israel also has joined the radar competition, capitalizing on its previous works with South Korea.

Israel Aerospace Industries (IAI) supplied its EL/M-2032 pulse Doppler radar for the FA-50 jet, a light armed variant of the T-50 supersonic trainer aircraft. The company now is offering the EL/M-2052 airborne AESA fire control radar for the KF-X plane.

“We’re willing and looking forward to cooperating with Korea,” said Igal Karny, deputy director of Elta Systems’ marketing and sales division. “The whole radar is our radar. We’re exporting the radar according to our regulations,” Karny said, apparently referring to Korea’s wariness of AESA export control.


Unlike European and Israeli firms, US radar manufacturers were cautious when talking about AESA cooperation with Korea.

“I can only tell you that right now we don’t have a license required for us to discuss KF-X radar cooperation,” a Raytheon official said.

Northrop Grumman was a bit more active in participating in the KF-X effort, as it seeks to sell its scalable agile beam radar to Korea.

“We’re very interested in it, and we’re following the [KF-X] program actually,” said Paul Kalafos, vice president of Northrop Grumman’s electronics systems. “We have a long partnership with Korea, and we want to be here for a long time in the long-term view.”


Northrop Grumman SABR AESA radar (photo : Northrop Grumman)

Korea Aerospace Industries (KAI), which is in charge of KF-X integration, puts a priority first on reducing risk before locally developing an indigenous AESA system. KAI favors buying an AESA either from the US or other nations to develop a KF-X prototype.

“We favor a two-track approach toward acquiring AESA technology,” a KAI spokesman said. “We can develop a KF-X jet equipped with either US or European AESA system over the next five years,” he said. “In the meantime, the ADD and a foreign radar company could push for developing an indigenous AESA within 10 years at the earliest, so the next KF-X block models would be fitted with the locally developed radar.”

The presidential office backs the two-track approach as a way of easing public anger over US rejection of tech transfer.

“I believe we can develop our own AESA and other key technologies within 10 years,” National Security Adviser Kim Kwan-jin said in a National Assembly audit Oct. 23.

“We’re seeking technical assistance from a foreign partner in order to manage or reduce risks of independent development of key systems,” he said, adding the ADD has implemented research and development of AESA since 2006.

The ADD has been in contact with radar companies from the US, Europe and Israel to find ways of purchasing an AESA system and gaining technical cooperation, according to sources. A selected partner company is expected to work with LIG Nex1, a precision weapons maker, to develop an indigenous AESA.

Engine Contest

Competition is also heating up between US and European engine companies. Eurojet Turbo is offering its 4.5-generation EJ200 engine to power the KF-X, touting the product’s exportability and growth potential.


IAI EL/M 2052 AESA radar (photo : IAI)

“We’re delighted to offer the EJ200 engine for the KF-X program. This is the latest, proven engine,” said Clemens Linden, CEO of Eurojet. “The engine has an easy maintenance concept with 15 modules that can be exchanged at the base without going back to the test house.”

Linden stressed Eurojet would offer lenient technology transfer so Korea could export Eurojet-based engines to third nations free of US export control.

“When the KF-X program advances and grows, we can have joint development with the Korean industry to grow the engine further,” the CEO said, adding that his company will help Korea learn engine integration skills.

General Electric is pitching its F414 engine, highlighting its long experience producing engines under license with the Korean industry.

GE stresses the development roadmap for the F-414, which powers the US Navy’s Boeing F/A-18 E/F Super Hornet, and GE’s succesful work on a number of international programs, including KAI’s T-50, the Saab Gripen and the Hindustan Aeronautics Tejas.

“KF-X is the largest ever military weapons development program in Korea’s history, and it will require low-risk solutions in terms of cost, technology and life-cycle management,” Al Dilibero, vice president of GE Aviation, said. “GE will bring the best and the most diverse fighter engine integration experience around the world to KF-X, which will lower overall risk of KF-X development.”

KAI issued the request for proposals for the engine weeks ago and responses are due Nov. 4. The winner is scheduled to be announced by February and stands to sell about 400 engines. 

(DefenseNews)

Pilih Mana, F-16 Viper atau SU-35?


f-16-viper
Tawaran Pemerintah Amerika Serikat (AS) atas pembelian F-16V kepada Indonesia disinyalir untuk merebut perhatian Indonesia dari Rusia.
Pasalnya, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan telah lebih dahulu memutuskan untuk membeli pesawat tempur Sukhoi SU-35 buatan Rusia sebagai pengganti F-5 Tiger sebelum adanya tawaran AS tersebut.
“Wajar saja, mereka (AS dan Rusia) sedang berebut pengaruh sama kita. Ini pinter-pinter pemerintah kita saja melihat kualitasnya,” ujar Pengamat penerbangan Chappy Hakim saat dihubungi Sindonews, Sabtu (24/10/2015).
Lalu apa kecanggihan dari pesawat tempur AS dan Rusia yang ditawarkan kepada Indonesia?
Menurutnya Chappy, jet tempur dengan tipe F-16 dan variannya lebih mudah mendapatkan suku cadangnya. Berbeda dengan Sukhoi buatan Rusia yang memiliki suku cadang khusus dan tak mudah didapatkan.
Dari segi spesifikasinya, Chappy enggan membandingkan lebih jauh. Terpenting, jet-jet tempur yang dibeli pemerintah Indonesia dari AS dan Rusia mampu menjadi alat pertahanan yang modern dan mumpuni dimiliki bangsa ini.
“Jadi menurut saya beli-beli saja, enggak papa. Asal membantu sistem pertahanan kita,” ujarnya.
SU-35
SU-35
SU-35 atau F-16 V
Amerika Serikat mengklaim F-16 Viper, atau biasa disebut F-16V, merupakan pesawat tempur paling canggih. Amerika Serikat juga mengklaim hanya menawarkan F-16V kepada Indonesia.
Pemerintah Indonesia pun tergiur dengan tawaran tersebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertolak ke Amerika Serikat pada sore hari Sabtu (24/10/2015), kabarnya akan membahas tawaran tersebut dengan Presiden Barack Obama.
Jika Presiden Jokowi menyambut tawaran pembelian F-16V, ditambah pembelian SU-35 dari Rusia, maka Indonesia memiliki skuadron udara yang mumpuni.
Namun jika tawaran pembelian F-16V membuat Indonesia harus memilih, pesawat tempur manakah yang akan mengawal udara Bumi Pertiwi,
Kecanggihan Pesawat
Pesawat tempur F-16 Viper atau F-16V, yang ditawarkan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, ternyata tidak bisa dikatakan istimewa.
Pengamat Penerbangan Chappy Hakim menjelaskan, spesifikasi pesawat jenis F-16V tidak memiliki keunggulan khusus selain sebagai varian tipe F-16 yang sudah diproduksi sebelumnya.
“Itu varian saja dari F-16 yang sudah ada. Kalau yang baru kan harusnya sudah sampai 26 (V),” ujar Chappy saat dihubungi Sindonews, Sabtu (24/10/2015).
Klaim AS bahwa F-16V sebagai jet tempur tipe baru, nyatanya F-16 dan variannya sudah banyak dimiliki Indonesia. Meski begitu, Chappy mengakui pesawat ini cocok untuk kawasan Asia Tenggara.
“Tipe itu (F-16V) yang penting bisa untuk mendeteksi ancaman negara dari penyelundup-penyelundup kejahatan di wilayah perbatasan kita. Kalau soal spesifikasi saya tidak terlalu tertarik, karena itu varian-varian saja,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi bertolak ke Amerika Serikat dan bertemu Presiden AS, Barack Obama. Salah satu agenda pertemuan juga disinyalir terkait penawaran Amerika Serikat menjual jet tempur F-16V.
Hal itu sempat disampaikan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Blake Jr di kantornya, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Selain itu, Amerika Serikat juga menawarkan transfer teknologi militer.
Sindonews.com

Perusahaan Selex Eropa Dan Elta Israel Siap Memasok Radar AESA Pesawat KFX


151016_p01_KF-X
Selama pameran Seoul International Aerospace and Defense Exhibition (ADEX), yang berlangsung dari 20 – 25 Oktober, beberapa perusahaan pembuat radar Eropa berusaha untuk merayu Korea Selatan yang tampaknya kecewa dengan AS.
Setelah perusahaan Saab Swedia menawarkan peengembangkan radar AESA dengan Korea Selatan. Kini giliran perusahaan Selex, bagian dari Finmeccanica mengajukan radar Captor-E yang selama ini menjadi radar andalan pesawat tempur Eurofighter Typhoon.
Perusahaan kedirgantaraan asal Inggris dan Italia itu merekomendasikan Seoul untuk mengadopsi radar dari Selex dan kemudian memproduksinya secara lokal.
aesa
“Intinya adalah kita akan mencoba untuk memenuhi keinginan Korea semampu yang kita bisa,” kata seorang pejabat Selex.
“Pilihan terbaik saat ini bagi Korea adalah menghasilkan radar Captor-E pertama dibawah lisensi, dan setelah mendapat transfer teknologi dari Selex, Korea akan mampu memproduksi sendiri teknologi radar AESA secara lokal,” katanya.
Perusahaan asal Israel juga telah bergabung dengan kompetisi radar, memanfaatkan produk-produk sebelumnya yang sudah digunakan Korea Selatan.
Israel Aerospace Industries (IAI) saat ini menyediakan radar EL/M-2032 pulse Doppler untuk jet tempur ringan FA-50. Perusahaan Israel itu menawarkan radar EL/M-2052 airborne AESA fire control untuk pesawat KF-X.
“Kami bersedia bekerja sama dengan Korea,” kata Igal Karny, wakil direktur divisi pemasaran dan penjualan Elta Systems. “Seluruh radar-radar kami. Kami mengekspor radar sesuai dengan peraturan kami sendiri, ” kata Karny, tampaknya merujuk pada kekhawatiran Korea terhadap pembatasan ekspor radar AESA.
Tidak seperti perusahaan Eropa dan Israel, produsen radar AS sangat berhati-hati ketika berbicara tentang kerjasama radar AESA dengan Korea.
“Saya hanya dapat memberitahu bahwa sekarang kita tidak memiliki izin untuk membahas kerjasama radar pesawat KF-X dengan Korea,” kata seorang pejabat dari Raytheon.
Namun Perusahaan Northrop Grumman sedikit lebih aktif untuk berpartisipasi dalam program KF-X, mereka berusaha untuk menjual radar scalable agile beam kepada Korea
Kami sangat tertarik , dan ingin ikut mendukung program (KF-X) sebenarnya,” kata Paul Kalafos, wakil presiden sistem elektronik Northrop Grumman. “Kami memiliki kemitraan lama dengan Korea, dan kami ingin untuk terus bekerja sama dengan Korea dalam jangka panjang.”
Korea Aerospace Industries (KAI), yang bertanggung jawab pada program KF-X, menempatkan prioritas pertama untuk mengurangi risiko sebelum mengembangkan sendiri sistem radar AESA. KAI ingin membeli radar AESA baik dari AS atau negara lain untuk mengembangkan prototype pesawat KF-X.
“Kami merencanakan dua jalur untuk memperoleh teknologi AESA,” kata juru bicara KAI. “Kita bisa mengembangkan jet KF-X yang dilengkapi dengan sistem AESA baik dari AS atau Eropa selama lima tahun ke depan,” katanya. “Sementara itu, Agency for Defense Development (ADD) Korea dan perusahaan radar asing bisa mendorong untuk mengembangkan radar AESA buatan Korea sendiri selama 10 tahun pertama, sehingga pesawat KF-X seri blok berikutnya akan dilengkapi dengan radar produksi Korea.”
“Saya percaya kita dapat mengembangkan radar AESA sendiri dan teknologi kunci lainnya dalam waktu 10 tahun,” kata Penasihat Keamanan Nasional Kim Kwan-jin dalam audit Majelis Nasional 23 Oktober
“Kami sedang mencari bantuan teknis dari mitra asing untuk mengelola atau mengurangi risiko pengembangan independen dari teknologi Inti,” katanya, menambahkan ADD telah menerapkan penelitian dan pengembangan AESA sejak tahun 2006.
ADD telah telah menjalin kontak dengan perusahaan radar dari AS, Eropa dan Israel untuk pembelian radar AESA dan mendapatkan kerja sama teknis.
Perusahaan asing yang terpilih nantinya diharapkan untuk bekerjasama dengan perusahaan asal Korea LIG Nex1, pembuat senjata presisi, untuk mengembangkan radar AESA buatan Korea Selatan.
Defence News

Menjaga Lini Produksi F-16 dan Geliat Pesawat KFX


F-16
F-16
Lockheed Martin Corp kini memiliki pesanan yang cukup, untuk menjaga lini produksi jet tempur F-16 hingga tahun 2017. Lockheed Martin berharap ada pesanan tambahan untuk F-16, sehingga lini produksinya bisa bertahan hingga tahun 2020, ujar eksekutif perusahaan tersebut.
Pada tahun 2020 diharapkan ongkos produksi pesawat tempur F-35 sudah jatuh menjadi murah, sehingga pelanggan potensial mungkin akan memilih jet baru tersebut, ujar kepala pengembangan F-16 Bill McHenry, kepala Reuters dalam sebuah wawancara.
Tapi untuk saat ini, perusahaan tersebut terus mengejar potensi penjualan F-16 dan upgrade F-16 di Timur Tengah, Amerika Selatan dan pasar lainnya.
“Kami bangun setiap hari dan pergi keluar dan melakukan apa yang kita bisa,” katanya. “Tapi ada titik persilangan di luar sana …di tahun 2020 akan lebih masuk akal bagi orang untuk mendapatkan pesawat F-35 dari F-16s.”
Lockheed telah menghasilkan lebih dari 4.500 unit F-16 sejak program ini dimulai pada tahun 1975, yang membuat F-16 sebagai jet tempur terlaris dalam sejarah. Jet yang diterbangkan oleh 26 negara.
Ada apa dengan KFX ?
Kelak dalam hal pesawat multi role, KFX hanya akan kalah dalam bidang pertukaran informasi dari source datalink seperti kemampuan datalink 16 dari F-35. Sementara Amerika menghabiskan banyak uang untuk mengembangkan F-35. Munculnya pesawat KF-X berarti
erbukanya persaingan ketat dalam hal penjualan pesawat kombatan masa depan.
Saat diadakannya pertemuan oleh delegasi pertahanan Amerika dengan Korea Selatan sehubungan atas pembahasan program ToT 4 unsur penting KFX, Amerika menolak demi alasan keamanan. Tetapi, mereka juga menganggap Korea Selatan kini sudah tumbuh menjadi pesaing Amerika dalam hal penjualan perangkat militer.
B-Step & Reuters

Pangeran Henrik Kunjungi Pembuatan PKR Sigma

pkr-surabaya
Pengerjaaan PKR Sigma 10514 yang ditinjau Pangeran Denmark di PT PAL, Surabaya, 24/10/2015 (photo: BS- Warjager)
Pangeran Henrik dari Denmark mengunjungi PT PAL Indonesia, di Surabaya – Jawa Timur. Suami Ratu Margarethe II Denmark itu, ingin meninjau dari dekat proses pembuatan dua unit kapal perang pesanan Kementerian Pertahanan RI jenis Perusak Kawal Rudal (PKR) di Divisi Kaprang PT PAL Indonesia. Pangeran Henrik menyatakan kekagumannya dan ingin berkerja sama di sektor maritim dengan Indonesia.
Dalam kunjungannya, Pangeran Denmark didampingi Menteri Luar Negeri Denmark Kristian Jensen dan Menteri Energi, Layanan Umum dan Iklim Lars Christian Lilleholt. Selain mengunjungi PT. PAL Indonesia, Pangeran Denmark bersama rombongan juga mengunjungi pabrik sepatu ECO Sidoarjo, dan menghadiri jamuan makan siang bersama Pangarmatim, Gubernur Jatim, Pangdam V, Kapolda Jatim serta sejumlah pengusaha asal Surabaya dan Denmark.
Dalam kesempatan itu ditandanganinya Memorandum Of Understanding (MOU) oleh 62 perusahaan asal Denmark dengan Pemerintah Indonesia menyangkut kerja sama di sektor kemaritiman, agribisnis, solusi perkotaan, energi, desain dan gaya hidup.
Kedatangan Prince Consort Henrik ke Indonesia khususnya Surabaya bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan hubungan bilateral antar kedua negara di bidang politik, ekonomi dan budaya yang sudah terbina dengan baik selama selama 65 tahun.

Jumat, 23 Oktober 2015

Indonesia and South Korea agree to continue KFX /IFX fighter development

http://img05.deviantart.net/29bd/i/2014/319/4/2/kfx_ifx_by_iqbalthewolf-d86gzeq.jpg
Indonesian and South Korean defence ministries have signed an agreement to continue the joint development of the Korean Fighter Experimental, Indonesian Fighter Experimental - Ed (KFX / IFX) aircraft.
Equipped with 4.5th generation technology, KFX / IFX would be a multi-role combat aircraft featuring more advanced capabilities than the Lockheed Martin-built F-16 Fighting Falcon aircraft.
The KF-X / IF-X development cooperation programme is being undertaken in three phases, including the technology development (TD), engineering and manufacturing development (EMD), as well as the production development (PD) phase.
Having completed the TD phase in December 2012, the two ministries signed the project agreement, which contains general principles and rules, as well as the commitment of the parties during the EMD phase.
"KFX / IFX would be a multi-role combat aircraft featuring more advanced capabilities than the Lockheed Martin-built F-16 Fighting Falcon aircraft."
Under the terms of agreement, South Korea will designate the Korean industrial main contractor, which will negotiate a related cost-sharing agreement with the Indonesian defence ministry and the related workshare agreement with Industri Indonesia (PT. DI).
The two sides have also agreed to establish a joint programme management office (JPMO) to assist implementation. This will include overseeing the Korean industrial participant, the Indonesian industrial participant and the budgeting and spending / contracting competence.
All of the expected agreements, including details of the task of JPMO, are scheduled to be signed before the planned start of the EMD phase by the end of November 2015.
Meanwhile, South Korea would conduct flight tests of six aircraft at home. One prototype would be handed over to Indonesia for final assembly, test and evaluation.
Indonesia will be actively involved in the production process of first and sixth aircraft throughout the flight test programme. It has also agreed to establish the final assembly production line and build the aircraft at its own expense.
Following completion of the entire flight testing programme, South Korea will submit one KF-X / IF-X prototype aircraft, with some engineering and test pilot input.
Seoul and Indonesia would undertake 80% and 20% of the workshare respectively, and have also agreed to jointly decide funding for the EMD phase contract.

ROKN Chang Bogo Class Submarines, South Korea

South Korean__subs
Chang Bogo Class attack submarines are in service with the Republic of Korea Navy (ROKN). The class is a South Korean license-built version of the German Type 209-1200 Class. Originally developed by Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW), the Chang Bogo Class is built by Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME).
"The Chang Bogo Class includes nine submarines. The ROKN placed an order for the construction of three submarines in 1987."
The Chang Bogo Class includes nine submarines. The ROKN placed an order for the construction of three submarines in 1987. The first boat in class, ROKS Chang Bogo (SS-61), was launched in June 1992 by HDW at Kiel, Germany. The remaining two subs were built by Daewoo at Okpo in South Korea, using German-supplied materials.
The ROKN placed two separate contracts with Daewoo in October 1989 and January 1994 to build a total of six submarines, bringing the total number of Chang Bogo Class submarines to nine. The nine submarines were commissioned into the ROKN between 1993 and 2001.
In December 2011, DSME was awarded a $1.1bn contract by the Indonesian Ministry of Defence (MoD) for the delivery of three improved Chang Bogo Class subs to the Indonesian Navy. Two submarines will be constructed in South Korea, in association with PT PAL Indonesia, while the third boat will be outfitted at PT Pal shipyard in Surabaya. Deliveries are scheduled for the first half of 2018.

Chang Bogo Class design features

The Chang Bogo Class incorporates a single hull design from the Type 209/1200. The submarines are designed to perform low-noise operations. Each submarine is fully equipped with automated systems, to reduce the workload of the crew.
The submarine has a length of 56m, beam of 6.2m and a draft of 5.5m. The submerged displacement of the ship is 1,285t. The Chang Bogo Class submarine can complement 33 crew members.

Combat management system and weapons

The Chang Bogo Class is equipped with a modern combat management system which integrates multipurpose consoles for the sonar, navigation systems and weapon systems.
"The submarine carries a total of 14 SUT Mod 2 torpedoes. Each torpedo can carry a 260kg warhead."
The Atlas Elektronik integrated sensor underwater system (ISUS) aboard the submarine gathers information about potential threats from onboard sensors. It allows the crew to analyse the scenario for delivering a rapid response.
Chang Bogo Class submarines are fitted with eight 533mm tubes, capable of firing Surface and Underwater Target (SUT) Mod 2 torpedoes. The submarine carries a total of 14 SUT Mod 2 torpedoes. Each torpedo can carry a 260kg warhead for a maximum range of 28km.
The submarines can hold 28 mines in place of the torpedoes. Some of the Chang Bogo Class submarines are capable of launching UGM-84 Sub Harpoon missiles. Na Daeyong (SS-069) was the first Chang Bogo submarine to launch a Harpoon missile. It sunk a retired American destroyer by firing a Harpoon missile during RIMPAC 2002, a biannual maritime training exercise involving nations of the Rim of the Pacific.
The Indonesian Chang Bogo submarines are anticipated to be fitted with indigenously developed combat management systems, torpedoes and countermeasures supplied by LIG Nex1.

Sensors on the Republic of Korea Navy submarines

The Chang Bogo Class is equipped with CSU 83 hull-mounted sonar supplied by Atlas Elektronik. The CSU 83 is a search and attack sonar operating on a medium frequency in active / passive modes. The submarines were believed to be fitted with passive towed array sonar for detecting submerged submarines.

Chang Bogo Class navigation systems

Sagem was contracted by Defence Acquisition Program Administration (DAPA) to upgrade the navigation system of the Chang Bogo Class in September 2011. Each submarine is fitted with two Sigma 40XP inertial navigation systems (INS).
The Sigma 40XP integrates superior laser gyros and modern digital filtering techniques. The system can deliver better performance in the harsh operational conditions that are experienced by submarines during dives.
The Chang Bogo Class is powered by diesel-electric propulsion system integrating four MTU 12V 396 SE diesel engines, one Siemens electric motor, a shaft and a propeller. The propulsion system provides a maximum submerged speed of 22kt and a range of 595km when totally submerged.